Negara Ambil Alih 1,4 Juta Hektare Tanah Telantar, Siap Dibagikan ke Ormas

"Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid, mengungkapkan bahwa pemerintah telah mengamankan sebanyak 1,4 juta hektare tanah telantar yang siap untuk dibagikan kepada organisasi kemasyarakatan (ormas). (Dok. Ist)"
Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid, mengungkapkan bahwa pemerintah telah mengamankan sebanyak 1,4 juta hektare tanah telantar yang siap untuk dibagikan kepada organisasi kemasyarakatan (ormas). (Dok. Ist)

NASIONAL – Pemerintah melalui Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) mengambil langkah tegas terhadap aset yang tidak produktif.

Sebanyak 184 bidang tanah telah resmi ditetapkan sebagai tanah telantar dan kini berpotensi diambil alih oleh negara sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mengoptimalkan pemanfaatan lahan di seluruh Indonesia.

Baca Juga: Tanah Bersertifikat Terlantar Bisa Disita Negara, Ini Aturannya

Selain 184 bidang yang sudah ditetapkan, terdapat 1.795 bidang tanah lainnya yang saat ini dalam proses penertiban dan telah mendapatkan peringatan dari pihak kementerian.

Direktur Penertiban Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Kementerian ATR/BPN, Sepyo Achyanto, menjelaskan bahwa proses penetapan ini telah melalui serangkaian tahapan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021.

“Yang sudah diberi peringatan dan sudah ditetapkan menjadi tanah telantar sejumlah 184 bidang,” kata Sepyo dikutip dari CNNIndonesia, Selasa (23/7).

Proses penertiban, lanjut Sepyo, diawali oleh kepala kantor wilayah BPN di masing-masing daerah.

Tahapannya meliputi evaluasi, pemberian peringatan bertahap dari pertama hingga ketiga, sebelum akhirnya diusulkan untuk penetapan oleh Menteri ATR/BPN.

Sebelumnya, Menteri ATR/Kepala BPN, Nusron Wahid, mengungkapkan bahwa negara telah mengambil alih lahan tidak produktif seluas 1,4 juta hektare.

Tanah tersebut merupakan bagian dari total 55,9 juta hektare tanah bersertifikat di Indonesia yang tidak dimanfaatkan oleh pemiliknya.

“Itu totalnya (tanah telantar) ada 1,4 juta hektare secara nasional,” ungkap Nusron pada sebuah Diskusi Publik di Jakarta, Minggu (13/7).

Nusron Wahid menambahkan bahwa lahan yang telah diambil alih ini rencananya akan didistribusikan kembali kepada masyarakat melalui organisasi kemasyarakatan (ormas).

Beberapa ormas yang disebut antara lain Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), hingga Persatuan Ummat Islam (PUI).

Baca Juga: Kejaksaan dan Badan Bank Tanah Kerja Sama Atasi Risiko Hukum Aset Negara

Pemerintah juga membuka peluang bagi organisasi mahasiswa ekstra kampus (ormek) seperti Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) untuk turut mengelola lahan tersebut.

Lebih lanjut, politikus Partai Golkar itu menyebut masih ada potensi 3 juta hektare tanah telantar lainnya yang siap untuk dibagikan.

Namun, lahan ini masuk dalam skema inventarisasi yang berbeda (IP4T) dan pengelolaannya memiliki empat opsi.

Opsi tersebut antara lain ditawarkan kembali kepada pemegang hak lama dengan komitmen baru, dialihkan kepada pihak lain dengan proposal yang lebih baik, atau disimpan di Badan Bank Tanah jika belum ada peminat.

Opsi terakhir adalah menjadikannya Tanah Cadangan Untuk Negara (TCUN).

“Potensi keempat adalah dimasukkan menjadi TCUN. Apa itu TCUN? Tanah cadangan untuk negara. Jadi, sewaktu-waktu negara meminta mau dipakai untuk membangun Sekolah Rakyat, membangun Sekolah Garuda, dibangun untuk nyetak sawah dalam rangka ketahanan tangan mengambilnya dari sini. Supaya kita enggak lagi babat hutan, tapi memanfaatkan yang ada ini,” ucap Nusron.

Pengambilalihan lahan tidak produktif ini memiliki landasan hukum yang kuat, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Telantar.

Peraturan ini mencakup tanah dengan status Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai, hingga Hak Pengelolaan.

Baca Juga: Bantah Terlibat Mafia Tanah, Ahli Waris Suparno di Kukar Ungkap Dugaan Pemalsuan Dokumen Warisan

(*Red)