NASIONAL – Geliat industri media di kawasan Asia-Pasifik menghadapi persimpangan jalan krusial di era Kecerdasan Buatan (AI). Isu-isu genting seperti keadilan data, strategi kompensasi dari platform teknologi global, dan pelestarian bahasa lokal menjadi benang merah diskusi panas pada hari kedua konferensi regional CTRL+J APAC 2025, Rabu (23/7/2025).
Acara yang digagas oleh Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan International Fund for Public Interest Media (IFPIM) ini menjadi wadah bagi para jurnalis, akademisi, dan pelaku teknologi untuk merumuskan masa depan jurnalisme yang beretika dan berkelanjutan.
Pedang Bermata Dua AI: Inovasi dan Ancaman Bias
Di satu sisi, AI membuka peluang inovasi penceritaan. Jurnalis multimedia asal Filipina, Jacque Manabat, berbagi pengalamannya sebagai *newsfluencer* yang memanfaatkan platform seperti TikTok untuk menyajikan berita. Namun, ia menegaskan bahwa fondasinya tetap tak berubah.
“Kami masih melakukan pekerjaan dengan metode jurnalistik, hanya saja dengan bentuk penceritaan yang berbeda,” ujar Jacque, menekankan pentingnya disiplin verifikasi dan kode etik di platform baru sekalipun.
Di sisi lain, ancaman serius mengintai di balik kemampuan AI. Peneliti dari Kyoto University, Irendra Radjawali, memberikan peringatan keras.
“Data yang dimasukkan ke dalam AI sangat bias karena sebagian besar dibuat oleh programmer kulit putih dan Barat, jadi sebenarnya tidak lengkap dan serba tahu seperti yang kita asumsikan,” ungkap Irendra.
Kritik ini menyoroti urgensi untuk menciptakan AI yang lebih adil dan representatif, agar tidak melanggengkan bias yang sudah ada.
Baca Juga: Jurnalisme Tak Akan Selamat Jika Terus Hidup di Gelembung
Perjuangan Kompensasi Melawan Raksasa Teknologi
Pertarungan ekonomi antara media dan raksasa teknologi menjadi agenda utama dalam sesi “Compensation Strategies”. Wakil Ketua Public Interest Publishers Alliance Australia (PIPA), Nelson Yap, memaparkan bagaimana Australia melawan dominasi platform digital.
“Jurnalisme adalah infrastruktur publik yang sangat penting dan pemerintah Australia mengakui hal ini,” kata Nelson. Pemerintah Australia tidak hanya mengucurkan dana hibah sebesar $99 juta, tetapi juga meluncurkan news bargaining code yang memaksa Google dan Meta untuk bernegosiasi dan membayar konten berita.
Nelson memperingatkan potensi perlawanan dari raksasa teknologi, mencontohkan pemblokiran konten berita di Kanada.
“Ini mendorong platform digital untuk membuat kesepakatan, sementara pada saat yang sama, kami diancam tarif lebih tinggi oleh Amerika karena kami berani mengatur teknologi mereka,” imbuhnya.
Harapan dari Lokal: AI yang Mengerti Bahasa Daerah
Di tengah kekhawatiran, muncul harapan dari pengembangan AI yang lebih inklusif. Shalini Joshi dari Meedan menerangkan bahwa AI untuk pemeriksa fakta kini telah tersedia dalam 31 bahasa di Asia.
Lebih dekat lagi, Dr. Leslie Teo dari AI Singapore mempresentasikan LLM SEA-Lion, sebuah model bahasa raksasa yang fokus pada bahasa-bahasa di Asia Tenggara, termasuk bahasa lokal seperti Jawa dan Ambon.
Inisiatif ini diperkuat oleh peneliti AI Center ITB, Ayu Purwarianti, melalui proyek Nusa Dialogue yang bertujuan mendokumentasikan dan melestarikan bahasa daerah di Indonesia dengan data langsung dari penutur asli.
Baca Juga: Menguatkan Akar, Merajut Arah: GCFTF dan Sinergi Aksi Iklim Korporasi-Daerah Menuju NDC
Penerbit Harus Bertindak: Lindungi Konten Anda!
Sesi terakhir memberikan panggilan tegas bagi para penerbit berita. Sergio Spagnuolo, Executive Director Nucleo Journalismo dari Brasil, mengungkapkan data mengejutkan. Riset menunjukkan Indonesia dan Brasil sangat permisif terhadap bot AI, di mana hanya 5-6% situs media yang memblokir agen AI.
“Sebagai perbandingan, di Amerika Serikat angkanya 35 persen. Kami akan segera merilis alat untuk membantu penerbit membuat file robot.txt sendiri untuk memblokir bot yang tidak diinginkan,” janji Sergio.
Presiden RadicalxChange Foundation, Matt Prewitt, menutup diskusi dengan pesan kuat. Jurnalis dan media harus bersatu, melindungi konten mereka secara hukum, menyiapkan skema perizinan, dan bernegosiasi secara kolektif dengan perusahaan teknologi.
“Tidak mengontrol akses terhadap konten Anda akan mengakibatkan penurunan dukungan pasar lebih lanjut untuk organisasi media,” pungkasnya.
(*Red)











